“Salah satu yang menjadi kritik orang postmodern terhadap modernitas adalah grand narative.” kata Dr. Fakhruddin Faiz, dalam kuliah filsafat yang beliau asuh tentang pengantar postmodernisme. Grand narative atau narasi besar itu, sepemahaman saya dari uraian panjang beliau, gampangnya satu teori untuk semua. Semacam pandangan bahwa satu obat manjur untuk semua penyakit.

Dengan kacamata ini, maka prespektif seseorang dikunci pada satu aspek saja dari sesuatu, kemudian memnggunakan prespektif tersebut untuk memandang berbagai aspek lain dari sesuatu itu bahkan untuk sesuatu yang lain. Maka, mereka yang menggunakan kacamata ini, akan terjebak pada generalisasi yang mengabaikan berbagai sisi lain dari hal atau sesuatu yang mereka pandang.

Maka, dengan menggunakan kacamata ini kita hanya memandang seseorang, misalnya, dalam jubahnya sebagai seorang alim saja; mengabaikan bahwa beliau juga seorang manusia yang punya emosi dan segala keterbatasan, seorang ayah yang harus menuntun anaknya, seorang suami, seorang sahabat dan seterusnya. Sehingga ketika yang dilakukannya salah atau keliru, tak ada yang berani untuk bahkan mengingatkan, apalagi menegur. Padahal, pembiaran tersebut tak juga baik untuk mereka. Padahal, pengagungan tersebut mematikan nalar dan berpotensi merusak hatinya karena bisa jadi dia merasa tak salah padahal semua orang diluar lingkarannya mencibir dirinya.

Dengan demikian, pemakai kacamata kehilangan kemampuan untuk kritis, bersikap obyektif, dan mungkin yang paling penting bersikap adil sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “”Dan jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka)” (al-Maidah: 2)

Semoga Dia yang Maha Halus tak henti menganugerahkan cahaya-Nya kepada mata kita semua agar dapat memandang lebih dari sekadar yang bisa dipandang mata; memaknai lebih dari sekadar yang didengar telinga. Amin