starmoon“Ingat” kata Ustadz Badrus di akhir ceramahnya setelah tarawih, “kita sudah memasuki minggu terakhir bulan ramadhan. Lailatul Qadr itu turunya di hari-hari ganjil di paruh terakhir bulan puasa. Jadi, banyak-banyaklah beribadah dan berharap ente-ente semua mendapatkan Lailatul Qadr yang kemuliannya sama dengan ibadah seribu bulan.”

Jamaah banyak yang menganggukkan kepala. Semangat mereka terbangkitkan. Yang i’tikaf menjadi semakin banyak. Banyak jamaah yang mengikrarkan dirinya akan meningkatkan tahajudnya. Cuma Pak Syamsi saja yang terlihat diam, tak bereaksi seheboh yang lain. Harapannya mendapatkan Lailatul Qadr dalam hatinya tertindih oleh kelamnya perjalanan hidup masa lalu beliau. Dia merasa dosanya masih demikian banyak untuk sekadar ditebus dengan istighfar terus menerus. Jadi, ketimbang mengharap mentari lebih baik dia terus mengkoreksi diri.

Malah ganjil hari itu berlalu seperti biasa, tak ada yang aneh. Esoknya, teman-teman pengajian di masjid masih sibuk menanti malam ganjil berikutnya. Dia senang mendengar cerita teman-temannya yang berusaha tahajjud sepanjang malam. Ada yang mati-matian berusaha menahan kantuk dan dzikir sepanjang malam. “Semoga ada yang dapat. Jadi aku bisa mendapatkan tampias berkah mereka.” Ujarnya dalam hati.

Malam itu, malam genap bulan Ramadhan, seperti biasa beliau hendak berwudhu, melaksanakan sholat taubat yg hampir tak pernah ditinggalkannya. Sambil berusaha menghalau kantuk, beliau mengucapkan niat wudhu dan mengangsurkan tangannya ke pancuran. Saat itu tiba-tiba beliau tersadar, air yang ada di depannya berhenti mengalir, bukan membeku, tapi berhenti; semesta senyap lalu kemudian dia melihat pepohonan di kanan kiri rumahnya mulai menunduk, setelah itu hanya ada cahaya, lalu dia merasa dirinya tiada, lenyap terserap. Dan di sisa malam itu, hanya tangis beliau yang dapat mewakili syukur tiada terhingga di hatinya.

~~~Cerita ini fiksi belaka, teriring doa semoga Allah berkenan menganugrahkan malam mulia itu kepada kita semua~~