Tags

,

“Jadi bagaimana solusinya?” kata Bejo, teman sepengajian kami dengan muka serius. Dia baru saja mengadukan masalah temannya, yang merupakan ustadz lumayan kondang di kampungnya dan sekarang sedang pusing dengan anaknya. Sang ustadz itu malah tenar sebagai tempat orang tua-orang tua curhat masalah mereka dengan sang anak atau
dengan pasangan hidup.

“Saya punya cerita yang mirip tapi beda” kata guru kami memulai perlahan:

“Seorang pengasuh program konsultasi rumah tangga pada sebuah radio terkenal, dianggap sebagai pakar masalah rumah tangga sekarang sedang menghadapi sidang cerai rumah tangganya sendiri. Ada lagi, seorang profesor terkenal harus berjuang menerima pria pilihan anak gadisnya yang hanya berprofesi sebagai supir bus.

Coba ente semua perhatiin semua cerita tersebut, apa yang Allah ujikan kepada mereka adalah yang mereka banggakan.  Soalnya, sejauh pengetahuan saya,  ketika seseorang merasa bangga akan sesuatu dan kemudian membanggakannya kepada orang lain, maka secara tak sadar dia mengklaim bahwa sesuatu itu adalah miliknya, melekat pada dirinya,
atau memang bersumber dari usaha dan kekuatannya semata. Dengan demikian, pada saat itu, orang tersebut mencabut apa yang menjadi hak Allah yaitu semua yang ada di langit dan bumi adalah milik-Nya dan tidak akan pernah menjadi milik seorang hamba; bahwa semua yang diberikan kepadanya itu hanyalah pemberian-Nya, sebagai anugerah dan nikmat serta amanah.

Sehingga pada satu titik, dengan kasih dan sayang-Nya,  Allah memberikan cobaan kepada orang tersebut dengan apa yang dibanggakannya. Maka, yang biasa menceramahi dan memberikan solusi terhadap rumah tangga orang lain diujikan dengan masalah yang dia berikan solusinya pada rumah tangganya sendiri (Naudzubillah). Yang begitu bangga dengan gelar akademisnya dan intelektualnya harus menghadapai kenyataan anak gadis kesayangannya jatuh cinta kepada seorang supir bus dan seterusnya. Seakan Allah hendak berkata, ‘Karena engkau sudah merasa bisa dan mampu menasehati orang lain maka sekarang Aku cobakan masalah yang sama kepada dirimu’.

Karena itu,” tutup guru kami dengan lembut, “jangan pernah lupakan syukur setiap  nikmat dan memohon perlindungan-Nya untuk diri dan keluarga serta keturunan ketika dihadapkan kepada masalah, musibah, serta ketika selesai memberikan nasehat. Dengan syukur seorang hamba mengembalikan apa yang diberikan Allah kepada posisinya sebagai anugerah atau amanah semata, bukan sebagai miliknya. Dengan syukur seseorang mendudukkan apa yang dia terima akan tetap dan terus menjadi milik Allah, dan tidak akan pernah menjadi milik dirinya. Sedangkan permohonan perlindungan kepada Sang Maha Pengasih merupakan perwujudan seorang hambda dalam arti seutuhnya, yang hanya dapat menggantungkan segala perlindungan dari segala yang buruk kepada Tuan-nya Yang Maha Kuasa.”

===Sekelebat ingatan, semoga bermanfaat bagi diri saya dan semua yang membaca dan Allah lindungkan diri kita semua dari semua keburukan yang ada dalam tulisan ini. Amin===