Tags

, , ,

Beberapa waktu yang lalu, penulis mendapatkan berita sebuah produk pakaian memamerkan sertifikat halal sebagia bagian dari iklan produknya. Pertanyaan kemudian muncul, apakah kerudung lain menjadi tidak halal, apakah kain lain yang tidak bersertifikat tersebut menjadi haram, makruf, atau mubah?

Terinspirasi dari pertanyaan tersebut tulisan ini dibuat dengan mengambil beberapa data dari internet, terutama yang berkaitan dengan proses pembuatan kain dan emulsifier. Selamat membaca dan semoga bermanfaat bagi saya dan kita semua. Amin.

Emulsifier dan perannya dalam pembuatan kain

Emulsifier atau zat pengemulsi sendiri adalah zat untuk membantu menjaga kestabilan emulsi minyak dan air. Umumnya emulsifier merupakan senyawa organik yang memiliki dua gugus, baik yang polar maupun nonpolar sehingga kedua zat tersebut dapat bercampur. Gugus nonpolar emulsifier akan mengikat minyak (partikel minyak dikelilingi) sedangkan air akan terikat kuat oleh gugus polar pengemulsi tersebut. Bagian polar kemudian akan terionisasi menjadi bermuatan negatif, hal ini menyebabkan minyak juga menjadi bermuatan negatif. Partikel minyak kemudian akan tolak-menolak sehingga dua zat yang pada awalnya tidak dapat larut tersebut kemudian menjadi stabil. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Emulsifier; diakses pada tgl 3 Februari 2016, 12:34 AM).

Secara umum bahan pengemulsi terdiri dari emulsifier alami dan emulsifier buatan (sintetis). Pengemulsi alami dibuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam. Misalnya dari biji kedelai, kuning telur dan sebagainya. Di dalam biji kedelai terdapat minyak yang cukup tinggi, di samping air. Keduanya dihubungkan oleh suatu zat yang disebut lecithin. Bahan inilah yang kemudian diambil atau diekstrak menjadi bahan pengemulsi yang bisa digunakan dalam produk-produk olahan. Adapun bahan pengemulsi buatan atau sintetis ini berasal dari rekayasa manusia untuk menghasilkan jembatan antara minyak dan air. Meskipun disebut sintetis, tetapi tidak sepenuhnya berasal dari bahan sintetis. Hanya proses pembuatannya saja yang dirancang secara buatan manusia, tetapi bahan-bahannya sering berasal dari bahan alami.  Dan yang dimaksud dengan bahan tersebut sebenarnya berasal dari lemak yang direkayasa dengan sumber asal lemak bisa didapat dari minyak bumi, nabati, atau hewani (sumber: http://www.pipimm.or.id/food_info.php?view=1&id=50; diakses pada 3 Februari 2016, 11: 59) (http://pharmlabs.unc.edu/labs/emulsions/natural.htm)

Dan sebagaimana yang kita ketahui, kain yang menjadi bahan dasar busana sehari-hari tidak disediakan alam dalam bentuk jadi. Lembaran kain tersebut terwujud melalui serangkaian proses yang cukup panjang: mulai dari pemintalan benang, penenunan, perawatan, dan penyelesaian atau finishing. (Sebagai informasi awal proses pembuatan kain dapat merujuk ke: https://en.wikipedia.org/wiki/Textile_manufacturing) dan (https://arthanugraheni.wordpress.com/2013/12/16/proses-pembuatan-dari-serat-sampai-menjadi-pakaian/)

Pada tahapan terakhir dari pembuatan kain atau tahapan finishing, kain akan dibersihkan dari berbagai macam kotoran yang menempel. Kotoran berupa lilin, minyak, noda dan seterusnya dibersihkan dengan berbagai macam proses. Dan diantara proses tersebut adalah proses pemasakan atau scouring, yaitu “Suatu proses penyempurnaan tekstil berupa penghilangan kotoran bawaan yang terdapat didalam serat (impurities) seperti lilin, lemak dan minyak juga kotoran luar seperti debu, oli. Zat-zat ini merupakan kotoran dari serat yang akan menghalangi penyerapan obat pada proses berikutnya. Prinsipnya pada serat alam dilakukan dengan menggunakan alkali yang mengubah zat-zat pada serat menjadi mudah larut, sedangkan pada serat buatan dengan zat aktif permukaan yang bersifat mencuci dan detergent yang akan mengemulsi kotoran yang menempel pada permukaanya. Proses ini dilakukan setelah desizing sebelum bleaching tetapi dapat juga di simultan dengan desizing dan bleaching.” (http://thessatriyas.blogspot.co.id/2010_05_01_archive.html; diakses tgl 3 Feb 2016 jam 11:56).

Dalam proses ini emulsifier memainkan peran penting sebagai salah satu dari tiga cara utama. Emulsifier berperan menghilangkan lilin yang ditimbulkan oleh proses produksi dan tidak dapat dihilangkan dengan sopanification karena lilin tersebut mengandung lemak. Dengan pengemulsi yang dapat mengikat lemak, maka lilin tersebut dapat dibersihkan dengan sempurna. (Lebih jauh tentang proses pemasakan dapat dilihat di: http://www.textiletoday.com.bd/oldsite/magazine/20).

Sedangkan dalam pemakaian sehari-hari, emulsifier berfungsi “membantu deterjen mengangkat noda minyak, lemak dan noda lainya pada kain katun, polyester baik itu linen, uniform khususnya pakaian dapur maupun guest laundry. Bahan ini bersifat netral, sangat cocok untuk mencuci kain berbahan halus.  Bahan kimia yang mengandung konsentrat surfactant. PH 3.” (http://book-me-tiboux.blogspot.co.id/2014/09/bahan-bahan-dasar-pencuci-laundry.html; diakses pada tgl. 3 Februari 2016, jam: 12:49 AM).

Kembali ke Kasus

Dalam tulisan ini penulis sengaja tidak berpanjang lebar membahas hukum gelatin atau emulsifier dari lemak hewan dan fokus ke masalah kain yang halal. Dari uraian tersebut, ada beberapa fakta yang menarik untuk diperhatikan:

  1. Asal dari kerudung tersebut adalah kain yang terbuat dari bahan yang dihalalkan oleh syariat Islam yaitu benang. Dengan demikian, hukum asal dari kain adalah halal kecuali jika kain tersebut didapat dengan cara yang menyalahi hukum seperti mencuri, menipu dan seterusnya.
  2. Emulsifier yang menjadi dasar sertifikasi halal tersebut adalah agen pembersih, bukan bahan dasar pembuatan kain.
  3. Masih ada rangkaian proses pembersihan setelah kain tersebut di”masak” atau dibersihkan dari lilin sehingga siap dipergunakan.

Dengan demikian, menurut hemat penulis–kecuali benang yang dipergunakan untuk membuat kain dibuat dari bahan yang diharamkan oleh syariat–maka semua kain yang diproduksi halal untuk dipergunakan. Adapun emulsifier atau pengemulsi hanya dipergunakan sebagai pembersih kain dari lilin dan kemudian dilanjutkan dengan rangkaian proses kimia lain sampai kain tersebut siap. Kecil kemungkinan emulsifier tersebut akan menyatu ke dalam kain sebagai zat yang dominan sehingga kain atau benang menjadi penuh dengan emulsifier.  Dengan demikian, penggunaan emulsifier tidak merubah kehalalan kain tersebut untuk dipergunakan.

Kalau pun ada yang menyatakan bahwa pengemulsi tersebut menyatu dengan kain, maka hukumnya menjadi dimaafkan karena mustahil untuk dipisahkan kembali atau mustahil dilihat dengan mata telanjang. Sama halnya dengan berbagai najis yang karena keadaan menjadi amat sulit untuk dihindari atau sulit untuk dibersihkan. Untuk berbagai macam najis dan penjelasannya dapat merujuk ke: http://www.rumahfiqih.com/khazanah/x.php?id=2

Lagi pula, sebagia pemakai akhir, rasanya akan menjadi amat sulit untuk mempertanyakan bahan pengemulsi yang dipergunakan setiap pakaian yang akan dibeli. Karena, penjual maupun produsen pakaian tersebut besar kemungkinan tidak mengetahui atau menaruh perhatian terhadap proses tersebut. Kondisi, menurut hemat penulis, dapat dianalogikan kepada kondisi dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari ketika sekelompok kaum muslim bertanya kepada Rasulullah “Wahai Rasulullah, sesungguhnya satu kaum memberi daging kepada kami. Tetapi kami tidak tahu, apakah mereka membaca bismillah ketika menyembelih atau tidak.” Maka Rasulullah bersabda: “Bacalah bismillah dan makanlah”.

Akhirnya, pelabelan satu produk dengan sertifikasi halal tidak serta merta menjadikan produk lain menjadi haram. Karena sebagaimana kaidah utama dalam usul fiqh: Segala sesuatu itu hukumnya halal kecuali ada dalil yang menyatakan keharamannya” maka kain yang ada di pasar menjadi halal kecuali ada yang dapat membuktikan keharamannya (itu pun dengan asumsi bahwa emulsifier terhukum haram dan menyerap menjadi kain atau mengisi benang yang menjadi bahan dasar kain tersebut). Disamping itu, sebagai pihak yang mengambil amanah sebagai pemberi sertifikasi, sudah selayaknya pihak pemberi sertifikasi memberikan penjelasan mendetail dalil hukum pemberian sertifikasi halal tersebut (entah lewat website atau media lain) dan juga berperan proaktif dalam menguji sampel kain yang masuk atau beredar di Indonesia. Sikap tersebut, pada gilirannya, akan menumbuhkan kepercayaan umat bahwa pemberi sertifikat juga mengambil peran sebagai penjaga umat, bukan sekadar penyedia sertfikat dan stempel kepada yang membutuhkan dan meminta saja tapi abai dengan yang banyak beredar.

Wallahu’alam bi showab.